Hari ini seperti pagi yang biasanya ku lewatkan. Just my ordinary life. Tapi panggilan mama yang mendadak saat aku sarapan mungkin salah satu indikasi kalau ini bukan pagi seperti biasanya. Tak biasanya mama memanggilku saat aku sarapan, kalau pun jemputan ku, pak Har sudah datang menjemput, biasanya mama menyuruhnya menunggu sebentar sampai aku selesai sarapan.
“Kenapa sih, ma? Pak Har udah dateng?”
“Nggak. Bukan pak Har” teriak mama dari lantai satu. Aku sedang menghabiskan sendok terakhir dari nasi goreng buatan mama saat mama memanggilku. Dengan sigap aku langsung menghabiskan susu murni kesukaanku dan pergi ke lantai dasar untuk menemui mama.
Seperti biasa aku memakai sepatu keds kesayanganku. Dan saat aku masih memakai kaos kaki ku, mama mendesakku untuk menemui siapa yang sudah dateng menjemputku.
“Aduh, kamu nanti aja pake sepatunya. Yang penting sekarang kamu temuin dulu deh tamu kamu itu, nak!” seru mama. Kegemparan mama di pagi ini sampai membangunkan kak Mei yang super kebo untuk bangun. Padahal dia baru kuliah siang nanti. Dia dengan rasa penasaran yang besar ikut aku ke teras rumah yang sedang ada tamu yang mama bilang. Tapi kak Mei hanya mengintip dari ruang tamu.
Saat aku keluar untuk menemui tamu yang mama bilang, telah menunggu seseorang yang kata mama super cakep, yaitu Aji. Aji datang dengan seragam sekolah yang lengkap seperti biasanya saat kami bertemu di sekolah. Ku lihat sepeda motornya telah terparkir dengan rapi di depan rumahku.
“Eh, kamu, Ji. Ada apa pagi-pagi begini dateng?” tanya ku dan aku duduk disampingnya.
“Hmm.. kamu udah siap berangkat sekolah?”
“Udah sih, tinggal pakai sepatu, emang kenapa?” tanyaku kalem.
“berangkat bareng yuk! Aku sengaja jemput kamu pagi ini buat berangkat bareng”
“Oh, ya udah, tungguin aku sebentar ya? Aku pakai sepatuku dulu” kataku dan Aji hanya membalas dengan anggukannya. Aku cepat-cepat masuk ke dalam dan memakai sepatuku secepat yang ku bisa.
“Cie.. di jemput cowok lo ya, Mey? Kenalin ke gue dong! Kayaknya cakep tuh! Cie.. mama! Mea dijemput cowoknya!” kata kak Mei yang tiba-tiba menggodaku.
“Udah, ah! Bawel lo! Ma, aku berangkat ya?” pamitku pada mama dan mencium punggung tangan kanannya seperti biasa dan mengacuhkan godaan dari kak Mei.
Aku keluar menghampiri Aji dan naik ke bangku penumpang di belakang Aji pada motornya. Dan Aji menyetirkan motornya dengan cepat tidak seperti biasanya, kali ini dia mengendarai motornya seperti Valentino Rossi, berbelok dengan manuver-manuver yang lincah dan menyelip dengan cekatan diantara macetnya jalanan di Jakarta yang seperti biasa macet.
Seperti biasanya, sebelum acara MOS dilanjutkan, setiap pagi diadakan apel pagi. Sama seperti biasanya juga Aji yang memimpin upacara pembukaannya. Namun mungkin hanya aku saja yang hari ini merasa ada yang aneh dengan Aji. Apa mungkin ada hubungannya dengan pertanyaan ku semalam padanya? Tentang Risa? Siapakah Risa?
Saat tiba di sekolah, sebelum kami sampai di ruang sekretariatan OSIS, Aji berpesan padaku kalau nanti pulang sekolah jangan pulang dulu, dia kan menceritakan mengenai Risa, Dan dia juga berpesan kalau bisa hari ini aku menghindar dari Luqman. Memang ada apa ya? Kenapa Aji terlihat bagitu resah?
“Kak Mea,” panggil seseorang menyadarkan lamunanku.
“ah, eh iya” sahutku pada si pemanggil yang ternyata Luqman. Duh, nih anak kok malah nyamperin gue sih! Sono gih jauh-jauh dari gue! Kan gue udah janji sama Aji untuk menjauhi nih makhluk!
“Apa?!” tanyaku dengan ketus padanya.
“Dih, galak amat sih! Aku cuma pengen nagihin janji kakak buat tanda tangan”
“Ya udah sini! Tapi lo harus janji nggak bakalan deket-deket gue seharian ini ya?”
“Ih, kok gitu? Kan kakak PJ aku. Nanti kulaporin sama ketua kakak itu lho!” ancamnya.
“Lo tuh kayak anak kecil banget sih! Terserah deh lo mau ngadu sama siapa! Mau ngadu sama presiden juga boleh! Yang jelas seharian ini lo harus jauh-jauh dari gue!” seruku.
“Oke” jawabnya singkat. Dan aku pun menandatangani bukunya.
“Ini pasti ada hubungannya sama Aji, ya Mey?” tanyanya saat aku menyerahkan buku tanda tangannya. Eh, kok dia bisa menebaknya sih! Duh, gue harus jawab apa ya? Duh.. duh..
“Kamu jangan sembarangan panggil nama kakak kelas doang tanpa pakai embel-embel ‘kak’ ya, Luqman!” seru seseorang menyelamatkanku. Saat ku menoleh, orang itu adalah Aji.
“maafkan aku ‘kak’ Aji” katanya memberi penekanan pada kata ‘kak’ dan dia langsung pergi bergabung dengan teman-temannya.
“Mey, kan aku udah bilang sama kamu buat menjauhi Luqman kan? Terus kenapa tadi kamu malahan mengobrol dengannya?”
“Maaf, Ji. Bukan aku yang mendekati duluan, tapi Luqman. Tadi sih aku udah bilang sama dia untuk menjauhiku hari ini”
“Bukan hari ini aja! Kamu nggak boleh dekat-dekat dengannya selamanya!” seru Aji dengan suara yang keras dan mengambil perhatian semua orang.
“Kayaknya kita nggak bisa ngomong disini deh, Ji. Cari tempat yang aman yuk!”ajakku dan aku menariknya ke ruangan laboratorium kimia yang ada di dekat ruang sekretariatan OSIS.
“Maaf ya, Mey? Nggak seharusnya tadi aku ngebentak kamu” katanya pertama kali saat kami telah masuk ke dalam lab kimia. Kami duduk di salah satu meja yang ada di lab kimia. Situasi lab kimia sepi. Hanya ada kami berdua. Aku hanya menunggunya untuk berbicara. Nggak enak kalau aku memaksakannya.
“Nggak apa-apa kok! Kalau kamu ada masalah, aku siap jadi teman curhat kamu” kataku menenangkan.
Hening kembali. Aji memandangku dalam. Aku balas memandangnya, tapi nggak bertahan lama. Kalau aku lama-lama memandang Aji, aku nggak kuat, takutnya aku bakalan bilang semua perasaan aku ke dia. Aku nggak berani untuk tahu perasaan Aji ke aku, aku terlalu takut kalau ternyata dia nggak punya perasaan apa-apa ke aku, bagaimana nantinya sikap ku ke dia kalau dia nggak punya perasaan yang sama seperti perasaanku padanya. Aku menunduk. Hanya melihat sepatuku. Saat tiba-tiba dia memelukku. Berada dalam dekapannya membuatku nyaman. Harum shampoo yang dipakainya, dan parfumnya yang lembut akan selalu ada dalam ingatanku. Apakah aku boleh berharap padamu, Ji?
Nggak lama kemudian dia melepaskan pelukkannya dengan perlahan. Dan kulihat wajahnya kuyu, resah, dan tidak seperti wajahnya yang biasanya dipenuhi dengan rasa percaya diri. Kini yang ada dihadapanku adalah sisi Aji yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
“maaf ya, Mey? Aku tiba-tiba memelukmu” katanya memecah keheningan diantara kami. Aku hanya bisa mengangguk, aku takut kalau aku berbicara, aku akan berbicara yang aneh-aneh seperti menyatakan perasaanku padanya.
“kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita ke aku, Ji. Mungkin aku nggak bisa membantu banyak, tapi aku bisa membantumu dengan memberimu dukungan”
“ini tentang Risa” katanya dan dia menghela napas panjang. Dan aku hanya terdiam menunggunya melanjutkan ceritanya.
“Risa merupakan tetanggaku dulu. Kamu tahu kan kalau dulu aku pernah tinggal di Yogyakarta?”
“Iya”
“iya. Dan aku baru pindah ke Jakarta 5 tahun yang lalu. Sebelumnya masa kecilku ku lewatkan di Yogya juga dengan Luqman. Iya. Dia ada hubungannya dengan Risa” sambungnya saat aku mengerutkan kening saat Aji menyebut nama Luqman.
“Luqman adalah sepupu jauhku. Dulu kami tinggal bersama nenekku di Yogya. Kami melewatkan masa kecil yang bahagia. Aku, Luqman, dan Risa. Kami merupakan jagoan cilik di desa. Namun seiring berjalannya waktu, saat Risa masuk SMP, aku menyadari kalau aku menyukainya. Dia merupakan gadis tercantik yang pernah kulihat” katanya. Saat Aji mengatakan kalau dia menyukai Risa dan Risa merupakan gadis tercantik yang pernah dilihatnya, terbesit rasa cemburu dalam hatiku.
“Namun Risa menyukai pria lain. Aku nggak mungkin salah akan hal ini karena Risa cerita sendiri ke aku. Dan pria itu adalah Luqman”
“Mendengar hal itu aku sangat cemburu. Nggak lama kemudian Risa datang menemuiku dengan membawa kabar kalau mereka telah jadian. Aku marah dan merasa dikhianati oleh Luqman, karena Luqman tahu perasaanku pada Risa, dan dia berjanji akan membantuku membuat Risa berpaling padaku, namun dia bisa-bisanya melupakan hal itu”
“Setiap aku melihat mereka berdua, monster dalam diriku memberontak marah. Aku yang saat itu kalap berusaha menyelakakan Luqman. Aku membuat rem sepeda motornya tidak berfungsi. Akibatnya saat Luqman dan Risa mengendarai sepeda motor itu, mereka kecelakaan seperti yang ku rencanakan” katanya dengan wajah yang mulai sedih dan suara yang sedih.
“Iya Luqman celaka seperti rencanaku, namun Risa meninggal karena kecelakaan itu. Itu merupakan salah satu kesalahan terbesarku. Luqman mengalami koma selama dua tahun. Seharusnya kini dia setingkat dengan kita. Rencana itu berjalan mulus, sangat mulus, andai saja Risa tidak ikut membonceng di belakang Luqman” katanya dan ia mulai menangis.
Aku merasa kalau Aji sangat mencintai Risa dan merasa sangat bersalah atas kematiannya. Duh, apa yang harus ku lakukan kalau ada seorang pria menangis di depanku. Aku merasa kasihan sekali pada Aji. Jadi ini yang membuatnya resah jika melihat Luqman. Apa yang harus ku lakukan? Aku mengeluarkan tissue yang ada di saku seragamku dan menghapus air matanya.
“Maaf, Mey. Aku jadi membuatmu khawatir. Dan alasan kenapa aku melarangmu dekat-dekat dengan Luqman, karena aku takut kamu akan direbutnya seperti dia merebut Risaku. Kamu nggak akan memilihnya kan, Mey?” tanyanya. Matanya menyiratkan seperti mata anak kecil yang ketakutan mainan kesayangannya akan direbut.
“Ehem.. begini, Ji. Aku mau tanya satu hal padamu, sebenarnya kamu menganggapku apa? Maaf bukannya aku mengira kamu menganggapku barang atau sesuatu, tapi aku cuma mau tanya, sebenarnya aku dimatamu itu apa? Aku nggak bisa mengiyakan saja tanpa tahu jawaban dari hal ini. Karena sebenarnya aku berharap kita lebih dari teman dan sekedar sahabat. Bolehkah aku tahu harapanku itu terkabul atau nggak? Karena kalau kamu hanya memberiku harapan tanpa jawaban yang jelas membuatku resah” tanyaku takut. Hah.. akhirnya aku menanyakannya.. aku nggak tahu kenapa kok bisa-bisa aku bertanya seperti itu padanya.
Hening. Aku tak berani memandangnya. Aku hanya terdiam menunggu jawabannya. Dan matanya hanya memandangku. Saat Aji berusaha untuk berbicara,
“Aji! Lo dipanggil wakil kepala sekolah tuh!” panggil Dipta dari pintu lab kimia, dia memecah keheningan dan juga memotong pembicaraan kami disaat yang tidak tepat.
“Iya, Ta! Makasih ya?” kata Aji yang raut wajahnya sudah berubah seperti biasa lagi. Dan Aji pergi bersama Dipta. Hanya aku yang ditinggal sendiri di lab kimia.
Hhhfffhhh…. Inikah nasibku yang tidak akan pernah mengetahui apa yang akan dikatakan Aji? Gimana nanti kalau aku ketemu Aji? Gimana kalau nanti aku ketemu Luqman? Harus seperti apakah aku bersikap?
Aku kembali ke kelas X-3, tempatku bertugas. Hadi dan Risti marah-marah karena aku telat datang. Kini kelas sedang diisi oleh guru yang akan menjelaskan mengenai visi dan misi sekolah. Seperti biasa anak-anak OSIS hanya duduk dilorong sekolah tak ada kerjaan. Aku langsung menarik lengan Lita dan pergi mencari Ita juga untuk menceritakan mengenai kebodohan yang telah kuperbuat.
“beneran, Mey? Lo udah nembak dia?! Terus dia bilang apa?” tanya Lita exciting saat aku, dia dan Ita duduk di kantin mendengar ceritaku. Aku menceritakan semua yang terjadi pada sahabat-sahabatku, dengan pengecualian aku nggak menceritakan curhatannya Aji, dan tangisannya Aji.
“Gue nggak tahu dia bakal bilang apa. Dipta dateng dan manggil Aji, dan Aji pergi. Apa gue salah ya nanya gitu? Gue bikin Aji jadi bingung mau jawab apa. Atau dia bingung gimana cara nolak gue dengan halus ya?” tanyaku dengan pesimis.
“Kita nggak bisa jawab pertanyaan lo itu juga, Mey. Semua keputusan ada ditangan Aji” kata Ita
“Terus kalau gue ketemu dia, gue harus bilang apa? Apa gue harus nuntut jawaban dari dia?”
“Nggak!” jawab mereka serempak.
“Lo jangan nuntut jawaban sama dia. Tungguin aja. Kalau semakin lo nuntut, nanti dia bisa ilfeel sama lo. Mendingan lo biarin dia yang bilang sendiri sama lo. Biarkan dia berpikir dahulu. Biarkan dia menimbang-nimbang untuk menerima lo atau menolak.” kata Lita.
“oke, gue bakalan nungguin jawaban dari dia. Tapi selama jawaban itu belum keluar dari mulutnya, apa yang harus gue lakukan?”
“Lo berlaku aja seperti biasanya. Seperti belum terjadi apa-apa” saran Lita
“tapi kalau terlalu lama dia diam gimana?”
“satu bulan” kata Ita.
“Hah? Satu bulan? Apaan yang satu bulan?”
“Lo tungguin dia satu bulan. Kalau dalam satu bulan dia belum ngomong apa-apa, lo bisa tanyakan ulang padanya” jelas Ita sok mengerti.
“Oke. Satu bulan”
“Oh ya. Lo kan belum cerita sama kami tentang mimpi lo ketemu Aji. Memang lo memimpikan apa?” tanya Ita.
“Oh, itu, entah sampai sekarang gue juga belum tahu maksud dari semua itu, tapi yang gue tahu, gue dan Aji ada di sebuah kebun bunga yang indah yang disebut sebagai kebun kupu-kupu. Dan kami tidak hanya berdua di tempat itu, ada seseorang disana”
“Siapa?” tanya Lita penasaran.
“I have no idea. Gue nggak lihat wajahnya. Dia ada di belakang gue, Aji menunjuknya, saat gue berbalik, nyokap gue bangunin gue!”
“Ahhhh....... nggak seru!!!” desah keduanya.
“Biarin! Yang penting gue ketemu Aji!”
“Nggak penting!! Aji doang! Setiap hari ketemu di sekolah kali!!” seru Lita.
“hehehe…. Namanya juga sedang jatuh cinta!” belaku.
Aku wanita yang sedang jatuh cinta…
“kak Mea..” panggil Luqman.
Saat ini waktunya istirahat siang, dan kacaunya, sekarang aku ketemu sama dia di tangga sekolah dekat kelas X-3. Ih nih anak nggak ngerti apa ya? Kan tadi gue udah jelas-jelas bilang buat nggak mengganggu gue. Padahal gue seharian ini udah berusaha biar nggak ketemu dia.
“apaan? Jauh-jauh dari gue!” jawabku ketus
“ketus amat sih! Padahal kan aku cuma mau lebih dekat sama kakak”
“Gue nggak mau deket-deket sama elo!” kata ku dan aku buru-buru untuk turun dan bodohnya aku, aku terpeleset karena tidak konsentrasi. Duh, kepala gue bakalan kejedot keras nih! Apa gue bakalan amnesia ya?
Aku memejamkan mataku saat aku jatuh, aku takut kalau aku jatuh. Namun kutunggu-tunggu, aku tidak kunjung jua kejedot. “Apa gue udah mati ya? Jadi nggak kerasa apa-apa?” pikirku. Alih-alih kejedot, aku mencium bau parfum yang kukenal. “Apa di surga baunya seperti ini ya?” pikirku bodoh. Perlahan tapi pasti, aku membuka mataku. Dan aku menyadari sedang ada dalam pelukan seseorang. Siapa ya? Oh, my gosh! Saat aku sudah membuka mataku lebar-lebar, aku melihat Luqman sedang mendekapku erat. Deg. Cepat-cepat ku hempaskan dia. Aku melihat keadaan sekitar, kami berdua terjatuh hingga anak tangga terakhir. Dan Luqman menjadikan dirinya sebagai bantalanku.
“Ma..maaf, Man!” seruku. Saat aku mengempaskan dirinya, dia meringis kesakitan.
“ah, nggak apa-apa” katanya sambil tersenyum. Deg.
“Ada yang luka nggak?” tanyaku khawatir sambil menyentuh pundaknya membantunya bangun. Deg. Saat dia berusaha untuk berdiri dengan bantuan ku dia langsung terjatuh lagi.
“Eh, kenapa?!” tanyaku panik.
“Kayaknya gue keseleo deh! Kaki gue sakit banget buat jalan” jawabnya sambil meringis kesakitan dan mencoba mengurut kakinya.
“Eh, jangan dipegang dulu! Takutnya kenapa-kenapa terus jadi salah urat lho!” seruku saat dia mulai mengurut sendiri kaki kanannya. Sebagai anggota tim kesehatan sekolah, atau PMR, hal pertama yang harus kulakukan adalah memapahnya menuju ke uks. Aku langsung meraih lengan kanannya dan meletakkannya dipundakku. Aku memapahnya. Berat bo!
“Eh, kamu mau ngapain?” tanyanya bingung.
“Mau ngapain? Ya bawa kamu ke uks lha! Biar dirawat disana”
“Udah nggak usah. Gue kan berat”
“Orang sakit diem aja deh! Kalau nggak cepet dirawat nanti bisa tambah parah!” seruku. Dan dia hanya diam dan menurut.
Aku berusaha untuk membawanya ke uks. Sepanjang perjalanan ke uks, semua orang melihat kami. Ada beberapa teman sekelasku yang meledek ku. Ih nih orang-orang udah tahu ngelihat gue kesusahan bawa Luqman malah nggak bantuin. Aduh, gue udah nggak kuat nih, padahal kami masih di lantai dua, duh, kenapa uksnya ada dibawah sih! Saat aku limbung dan terjatuh, entah kenapa Luqman nggak terjatuh. Hah? Nggak ikut jatuh? Saat aku berdiri aku mengetahui kenapa itu terjadi, Aji dengan sigap sedang memapahnya disisi seberangnnya.
“Kamu nggak apa-apa, Mey?” tanya Aji dan Luqman bersamaan.
“Nggak, nggak apa-apa”
“Luqman kenapa sih, Mey? Mau kamu bawa kemana?” tanya Aji.
“Maaf, Ji. Luqman keseleo, mau aku bawa ke uks”
“Ya udah ayo ke uks!” seru Aji dan dia gantian memapah Luqman. Aku hanya berjalan disamping Luqman mengikuti langkah kaki mereka berdua.
“Mey, aku perlu penjelasan kenapa kamu tadi memapah Luqman? Kenapa dia bisa keseleo?” tanya Aji saat Luqman sudah kami serahkan pada dokter uks untuk dirawat. Kini aku dan Aji sedang berada di ruang sekretariatan OSIS yang berada dekat dengan uks. Untungnya saja saat ini ruang OSIS sedang kosong. Lalu aku menjelaskan semuanya pada Aji.
“Maaf, Ji” kataku dan aku memeluknya.
“Maaf untuk apa? Kalau begitu kejadiannya, aku bisa maklum kok! Asalkan kamu jangan dekat-dekat dengannya” tanya Aji pelan masih dalam pelukan. Suara Aji yang tepat berada di telingaku menggema hingga dalam hati. Aku hanya terdiam menikmati pelukannya yang erat. Aku nggak mungkin dong kalau aku bilang pada Aji kalau saat aku berada didekat Luqman, jantungku berdebar cepat! Iya. Itulah yang terjadi padaku saat aku berada didekat Luqman. Saat itu aku merasa sangat menghianati Aji, karena dalam sesaat, aku melupakannya.
“Mea” panggilnya dan melepaskan pelukan ini. Kini tangannya memegang kedua pundakku. Aku memandangnya. Dia memandangku selama beberapa detik. Apakah ini saatnya aku tahu jawaban atas pertanyaanku tadi pagi?
“Kenapa, Ji?”
“Untuk pertanyaan kamu tadi pagi..” katanya mengawali. Yup! Inilah saatnya! Aku hanya diam menunggu jawabannya.
“maaf telah memberi harapan yang berlebih, aku nggak bisa menganggapmu lebih dari teman atau pun partner dalam OSIS” katanya sedih.
“maaf, aku masih ada urusan” sambungnya dan meninggalkan aku sendiri di ruang OSIS. Aku hanya terdiam. Bagiku dunia sudah kiamat saat tadi dia mengatakan penolakkannya padaku. Kaki ku lemas dan aku terduduk dilantai ruang OSIS yang dingin. Menangis sendiri dalam sunyi.
Apa ini? Kenapa saat tadi gue bersama Mea, gue merasakan debaran yang sama saat gue bersama Risa? Kenapa tadi gue refleks memeluk Mea untuk menyelamatkannya.
“a.. aduh!” seruku saat dokter uks memijat kakiku.
“Sementara sih udah nggak apa-apa. Kamu istirahat aja disini!” kata dokter itu dan pergi meninggalkan ku sendiri dalam ruang uks.
Gue bingung, kenapa gue bisa deg-degan didekat Mea? Apa karena dia sama kayak kamu, Ris? Kenapa bisa ya di dunia ini ada dua orang yang sama persis sepertimu, Ris? Apa aku jatuh cinta dengannya, Ris? Tapi aku nggak boleh sampai mencintainya. Aku datang kesini, dan mendekatinya karena gue mau balas dendam sama Aji. Kalau aku sampai mencintainya aku bisa susah untuk membalas seperti apa yang telah dilakukan Aji kepadaku dengan memisahkan kita berdua, Ris!
“Assalamualaikum” salam Mea masuk ke uks. Dia mendekati ranjangku.
“Waalaikum salam”
“kamu udah baikan, Man?” tanyanya. Suaranya bergetar, seperti saat Risa biasanya sedang menyimpan sesuatu yang membuatnya sedih. Apa benar akan sama antara kebiasaannya dan kebiasaan Risa ini?
“Udah sih, cuma nggak boleh jalan dulu. Kamu kenapa, Mey? Kamu habis menangis ya?” tanyaku perlahan.
“Ah, enggak.. aku.. aku..” kata-katanya terputus dan dia menangis.
“Sini, Mey” panggilku untuk menyuruhnya duduk disamping ranjangku. Dia menurut. Aku memeluknya untuk menenangkannya. Aku juga merasa sedih melihatnya menangis. Aku nggak mau melihatnya menangis, sama seperti saat aku nggak mau melihat Risa menangis. Apa aku menganggap Mea seperti Risa?
“kamu kenapa?” tanyaku pelan saat aku melepaskan pelukanku dan menghapus air mata yang jatuh dipipinya. Dia tidak menjawab, hanya menangis. Saat seperti ini aku nggak tahu apa yang bisa ku lakukan untuknya. Aku hanya menemaninya menangis. Berada dismpingnya sampai dia mau memberitahukan alasannya menangis.
“Ji, lo liat Mea nggak?” tanya seseorang padaku saat aku sedang berjalan menuju ruang wakil kepala sekolah untuk melaporkan kalau MOS sudah hampir usai dan meminta kesediannya untuk menutup MOS hari kedua pada apel penutupan nanti.
“Terakhir gue ngelihat sih tadi pas istirahat siang, dia ada di ruang OSIS. Kenapa, Ris?” tanyaku balik. Aku khawatir. Apa Mea baik-baik saja ya setelah apa yang terjadi tadi?
“Gue dari tadi nggak ngelihat dia. Emang semenjak istirahat tadi gue juga nggak ngelihat. Tadi gue udah cek ke ruang OSIS, tapi nggak ada orang disana. Ya udah deh, makasih ya, Ji!” serunya dan beranjak pergi.
“Risti! Bilangin ya sama semua anak OSIS, suruh kumpulin semua anak kelas satu di lapangan! Mau ada apel penutupan!” pesanku pada Risti. Dia hanya mengangguk.
Mea nggak ada di ruang OSIS? Dia kemana ya? Apa dia nggak apa-apa setelah tadi gue menolaknya. Kalau nanti terjadi apa-apa sama Mea gimana ya? Sebenarnya aku mencintainya. Tapi aku nggak tahu apakah aku menyukainya karena memang dia adalah Mea atau karena aku menganggapnya sebagai pengganti Risa. Hati kecilku nggak membolehkan aku untuk menyakiti Mea, dan aku belum yakin pada perasaan ku. Mea, aku nggak bisa menerimamu, tapi aku juga nggak mau kamu pergi dariku. Aku tahu kalau aku egois. Tapi aku nggak bisa melihat kamu pergi dengan cowok lain apa lagi kalau sampai cowok itu Luqman. Iya, Luqman! Saat aku melewati uks, aku yang awalnya berniat menjenguk Luqman, dan menawarinya untuk ku antar pulang karena kakinya yang keseleo nggak mungkin untuk berjalan jauh, saat aku masuk, dan mengintip dibalik tirai uks yang memisahkan dari satu ranjang ke ranjang lainnya, aku mendengar suara Mea yang sesengukan menangis, aku mengintip di celah-celah dan mendapati Mea sedang menangis di depan Luqman, dan Luqman sedang berusaha untuk menghiburnya.
“aku rasa aku tahu alasan Aji nolak kamu, Mey”
“Apa?” tanyanya sambil sesengukan.
“Risa”
“Risa? Apa Aji belum bisa melupakan Risa?”
“Hahaha… kalau melihatmu, dia nggak mungkin bisa melupakan Risa”
“Maksud kamu?”
“Aji belum memberitahukan hal ini padamu?”
“Kasih tahu apa? Dia cuma kasih tahu apa yang tadi aku ceritakan”
“Ini” katanya dan memberikan selembar foto dari dompetnya. Mea yang melihat foto itu berhenti menangis karena terkaget melihat foto tersebut. Bagai pinang dibelah dua, Risa sangat mirip dengannya.
“Hah?! Ini Risa?”
“Iya. Kamu dan dia bagai pinang dibelah dua. Sangat mirip”
“Nggak mungkin! Kan yang seperti ini cuma ada di sinetron-sinetron!”
“Hahahaha… tapi itulah yang terjadi. Aku rasa Aji masih bingung atas perasaannya padamu. I think he loves you, but he doesn’t know his true feeling to you. Does he loves you because of you? Or because of Risa? Tapi dia bodoh”
“Bodoh? Bodoh kenapa?”
“nggak. Lupain aja!”
Itulah pembicaraan mereka yang terdengar oleh ku sebelum aku pergi meninggalkan uks karena aku nggak mau mencuri dengar lebih banyak lagi. Risa. Mea. Kenapa kalian bisa sama persis? Kalau saja Mea berbeda dari Risa, mungkin ini akan jauh lebih mudah bagiku untuk membuka lembaran baru. Ris, kenapa kamu selalu ada dalam hidupku? Apa kamu marah padaku sehingga membuatku tidak bisa melupakanmu?
“Ris, eh, Mey” panggilku saat Mea bersiap untuk pulang dan sedang membantuku jalan. Dia bersikeras untuk mengantarkanku pulang.
“Apa, Man?”
“Apakah kamu akan mengikuti kemauan Aji yang menyuruhmu untuk menjauh dariku?”
“Buat apa? Lagian dia juga bukan siapa-siapaku! Mungkin rasa cintaku pada Aji belum bisa ku lupakan, tapi aku berusaha untuk bangkit kembali, seperti katamu, kalau aku nggak ambil resiko, nggak akan ada yang namanya masa depan” katanya tegar dan membantuku berdiri.
“Kayaknya kamu sudah mulai tegar, Mey!”
“Harus. Aku selalu bilang pada temanku yang sedang patah hati, dia boleh menangis sepuasnya, tapi setelah dia berhenti menangis, dia harus tegar dan bangkit kembali untuk melangkah ke depan, membuat masa depannya yang lebih baik lagi, kita nggak boleh menyesali apa yang sudah terjadi, setiap masalah pasti ada hikmahnya, seperti kata Stuart Litte, every problem have a silver line” katanya mantap dan memapahku menuju taksi yang sudah dipesan.
Walaupun dia bilang begitu padaku, namun mata dan senyumannya tidak bisa berbohong. Pada matanya terlihat kalau dia sangat sedih, senyumannya tidak seperti senyumannya yang tulus dan manis seperti saat pertama kali kami bertemu, dia sangat terlihat memaksakan senyumannya. Yah.. mungkin saat ini aku hanya bisa menunggunya… menunggunya untuk melupakan Aji. Menunggu lukanya sembuh dan menutup.
My Almond Butter Business | 100% Homemade
5 minggu yang lalu