Halaman

Senin, 26 Oktober 2009

Kisah Anak Babi Yang Masuk Surga

Adalah Musa ‘alaihissalam, satu-satunya Rasul yang memiliki keistimewaan berdialog langsung dengan Allah. Bila ada masalah yang ingin diketahuinya, Musa akan naik ke puncak bukit Tursina untuk bertanya dan Allah akan langsung menjawabnya.

Suatu hari Musa bertanya “Ya Allah, siapakah yang akan menjadi tetanggaku di surga nanti?”. Maka Allah menyebut sebuah nama beserta kampung tempat tinggal orang itu. Dengan bergegas Musa turun dari bukit Tursina dan mencari orang yang dimaksud. Setelah beberapa hari berjalan, sampailah Musa di rumah orang tersebut. Dengan mengucap salam, Musa bertamu dan dipersilakan duduk. Ternyata nama yang disebut Allah kepada Musa adalah nama seorang pemuda.

Setelah Musa duduk, pemuda itu tak langsung mempedulikannya. Musa memperhatikan pemuda itu masuk ke kamar dan keluar dengan menggendong seekor babi betina. Dalam hati Musa sungguh diliputi keheranan melihat tingkah pemuda yang kemudian dengan cermat memandikan dan membersihkan babi betina itu. Di lap dan diciumnya babi betina itu dengan penuh sayang. Kemudian babi betina itu dibawa kembali kedalam kamar. Tak lama berselang, Musa kembali dikejutkan melihat pemuda itu keluar dari kamar yang sama dengan menggendong babi jantan yang lebih besar. Sama seperti tadi, babi jantan itu pun dimandikan, dibersihkan, di lap dan dicium dengan sayang sebelum dibawa kembali kedalam kamar.

Setelah selesai, barulah pemuda itu menemani Musa yang sudah menunggu sejak tadi. Masih dalam keterkejutan, Musa bertanya “Hai pemuda, apakah agama mu?”. Si pemuda menjawab “agamaku agama Tauhid”. (Islam baru dikenal setelah disampaikan Rasul Muhammad, sebelum periode itu, Islam disebut sebagai agama Tauhid). Musa bertanya lagi “Jika agamamu Tauhid, mengapa kamu memperlakukan babi dengan begitu istimewa? Kita tidak diperbolehkan untuk itu”. Dengan perlahan, pemuda itu bercerita bahwa kedua babi itu adalah bapak ibunya yang telah melakukan dosa besar dan dikutuk Tuhan menjadi babi. Katanya “Soal dosa mereka kepada Allah, biarlah itu menjadi urusan mereka dengan Allah. Tugasku sebagai anak tetaplah menghormati dan menyayangi mereka sebagaimana jika mereka berbentuk manusia. Setiap hari aku berdoa agar Allah berkenan mengembalikan rupa mereka seperti semula tapi rupanya belum juga dikabulkan”.

Seketika itu juga, turunlah wahyu kepada Musa “Wahai Musa, inilah orang yang akan menjadi tetanggamu di surga disebabkan karena baktinya kepada ibu bapaknya meskipun mereka berdua telah berbentuk binatang yang buruk rupa. Karena itulah Aku angkat dia ke maqam yang lebih tinggi sebagai anak yang shaleh. Dan sebab baktinya, aku akan kabulkan doanya untuk mengembalikan wujud kedua orangtuanya ke bentuk semula. Kasih dan rahmatKu akan menghapuskan dosa keduanya disebabkan bakti anaknya dan menempatkan mereka ke dalam surgaKu”.

Kisah ini semestinya mengajarkan kepada kita bahwa seburuk apapun perangai kedua orangtua, perlakuan kita sebagai anak tak perlu menjadi buruk juga. Urusan dosa mereka kepada Allah, biarlah itu menjadi urusan individu mereka. Barangkali dengan doa, kesabaran dan kebaikan kita, kedua orangtua yang berperangai buruk bisa menjadi lebih baik.

Semoga kita masih diberi kesempatan dan waktu lebih banyak untuk lebih menghormati, menyayangi dan mengasihi mereka berdua sebagaimana mereka telah tanpa pamrih menyayangi dan mengasihi kita sewaktu kecil. Amin.

(from : http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=15588 )

Minggu, 11 Oktober 2009

Tolonglah... Dengarkan Apa yang Tidak Kuucapkan

Kemarin gue minjem the 7 habits of highly effective teens milik Putri Khairunisa, teman saya yang baik hati itu. Maaf, Pukhoi, bukunya belum selesai dibaca. Hehheee... ada satu sajak yang gue suka, judulnya seperti yang menjadi judul postingan ini.


Jangan terkecoh olehku. Jangan terkecoh oleh topeng yang kupakai. Karena aku memakai topeng, aku memakai seribu topeng, topeng yang takut kulepaskan, yang tak satupun adalah diriku. Pura-pura adalah seni yang jadi sifat kedua bagiku, tapi jangan terkecoh deh.
... Aku memberikan kesan bahwa aku tentram, bahwa semuanya beres, baik di dalam batin maupun lingkunganku; bahwa kepercayaan diri adalah ciri-ciriku dan sikap tenang adalah kebiasaanku; bahwa perairannya tenang dan bahwa akulah yang memegang kendali dan aku tak butuh siapapun. Tetapi jangan percaya deh; kumohon.
Aku ngobrol dengan santai denganmu dengan nada basa-basi. Aku katakan segalanya yang sebenarnya tak ada artinya, yang sama sekali lain dari pada seruan hatiku. Jadi, kalau aku sedang berceloteh, jangan terkecoh oleh apa yang kuucapkan. Tolong dengarkan dengan seksama dan berusahalah mendengar apa yang tidak kuucapkan; apa yang ingin dapat kuucapkan; apa, demi keselamatan, yang perlu kuucapkan tetapi tidak bisa. Aku tidak suka bersembunyi. Sejujurnya loh. Alo tidak suka permainan basa-basi yang kumainkan ini.
Sebenarnya aku ingin tulus, spontan, dan menjadi diriku sendiri; tetapi kamu harus menolong aku. Kamu harus menolong aku dengan mengulurkan tanganmu, sekalipun kelihatannya aku tidak meningingkannya atau membutuhkannya. Setiap kali kamu bersikap baik serta embut dan memberikan dorongan, setiap kali kamu berusaha mengerti karena kamu sungguh peduli, hatiku bersayap. Sayap kecil sih. Sayap lemah sih. Tetapi pokoknya bersayap. Dengan kepekaanmu dan simpatimu serta daya pengertianmu, aku bisa menanggung semuanya. Kamu bisa menghembuskan napas kehidupan ke dalam diriku. Pasti tidak mudah bagimu. Keyakinan akan ketidakberhargaan yang sudah lama pasti membangun dinding yang kuat. Tetapi kasih itu lebih kuat dari pada dinding yang kuat, dan disanalah letaknya pengharapanku. Tolong usahakan untuk merubuhkan dinding itu dengan tangan-tangan yang kokoh, tetapi lembut, karena seorang anak itu peka, dan aku ini anak-anak.
Siapa sih aku, mungkin kamu bertanya-tanya. Karena aku adalah setiap pria, setiap wanita, setiap anak-anak... setiap manusia yang kamu temui.

(dikutip dari The 7 Habbits of Highly Effective Teens P. 244-245)
 

Template by Suck My Lolly - Background Image by TotallySevere.com