Halaman

Minggu, 08 Februari 2009

You and You : empat

Hffff kuping gue panas. Kaki gue kesemutan. Gue ngantuk banget. Tapi masih ada tugas. Dasar papa! Nggak tahu apa anaknya lagi banyak tugas!? Dasar tramtip!
Aku baru saja melewatkan dua jam diceramahi papa tantang pentingnya ini lah itu lah dan bla bla bla. Dengan langkah gontai aku masuk ke kamar dan langsung menjatuhkan tubuhku ke ranjang yang sangat nyaman itu. “I’m a big big girl in a big big world. It’s not a big big thing if you leave me”
Siapa sih yang telepon!? Gue lagi capek banget nih! Dengan malas kusambar handphoneku yang ku letakkan di meja belajarku. Aji. Nama itu terpampang di layar handphoneku. Oh iya, gue kan tadi bilang sama Aji kalau udah nyampe harus nelepon gue. Ku angkat telepon itu dengan sigap.
“Halo? Assalamualaikum” sapa Aji diseberang.
“Waalaikum salam”
“oh, thanks god! Mea, kamu kemana aja sih? Dari tadi aku telepon kamu terus tapi nggak ada yang angkat. Kamu nggak apa-apa kan?”
“Eh, maaf, Ji. Tadi…. Habis bantuin mama cuci piring sama bebenah sedikit. Kan kamu tahu di rumahku nggak ada pembantu” jawab Mea berbohong. Padahal boro-boro mencuci piring, apalagi bebenah, Mea nggak pernah melakukan hal itu. Kalau pun dia melakukannya, semuanya tidak akan berjalan sempurna. Mencuci piring, kalau nggak pecah piringnya ya masih bersabun, nggak bersih membilasnya. Bebenah, menyapu saja nggak becus, apalagi mengepel, bukannya bersih, malah dibuat banjir.
“oh, begitu? Maaf, habis kamu nggak angkat teleponku. Aku jadi khawatir”
“Iya, maaf sudah bikin kamu khawatir. Ehm… ee….” jawabku. Aku bingung mau mengobrol apa lagi sama Aji. Setiap bersama Aji aku nggak tahu harus ngomong apa. Wibawanya membuatku ciut dan segan kalau ingin bercanda. Dia orangnya terlalu serius sih! Akhirnya kami hanya diam.
“Udah dulu ya, Ji? Aku masih harus mengetik elpeje. Masih ada yang belum. Kalau nggak ku selesaikan nanti Ama ngomel-ngomel. Hehehe”
“Ya, sudah, jangan terlalu malam ya tidurnya? Jangan memaksakan diri. Good night princess”
“Good night juga prince”
Dan pembicaraan pun berhenti. Aku berjalan ke arah komputer usangku dan menyalakannya. Sambil menunggu komputerku siap digunakan, aku melihat handphoneku, gila! Aji miskol sampai 40 kali. Dan ada 4 sms darinya, menanyakan kabarku serta satu sms dari Luqman.

Mey, gue udh sampe. Nggak usah khawatir. Malam.

Bagus deh Luqman udah sampai. Jadi aku nggak harus mengkhawatirkannya lagi. Now, I’m gonna to finished my job.
---
Tempat ini lagi? Sebenarnya ini dimana sih? Kulihat sekelilingku, sama seperti sebelumnya, terhampar padang rumput dengan bunga-bunga indah dengan warna-warni yang menarik hati, terdapat sebuah tebing besar menganga dengan ketinggian yang tidak kuketahui kedalamannya, aku tetap tidak dapat melihat ujungnya. Namun bedanya, kali ini tidak ada siapa pun disini kecuali aku.
Tempat apa ini sebenarnya? Kebun kupu-kupu, kata Aji? Tapi dimana itu? Kenapa aku merasa tak asing dengan tempat ini? Aku mulai berjalan-jalan mengelilingi kebun itu. Mencari tahu nama daerah tempat itu, saat dari balik badanku, seseorang memanggilku.
“Hey! Kamu mau kemana? Ayo kesini!” panggilnya. Aku membalikkan badan dan melihat Luqman tersenyum dan melambai-lambaikan tangannya. Senyumnya berbeda sekali dengan senyum yang biasanya kulihat di wajahnya. Matanya bersinar ceria, dan senyumannya itu, sangat tulus dan lebih ceria. Aku menghampirinya.
“Luqman? Kenapa kamu ada disini?”
“Lho? Kan kita janjian mau menghabiskan siang ini dengan melihat awan, seperti biasanya kan?”
“Kita? Hanya berdua?”
“Ya nggak lah! Sama Aji juga. Tapi kemana tuh orang?! Dasar jam karet!”
“Aji?”
“Iya. Ah itu dia!” katanya dan menunjuk ke satu arah.
“Yo bro! Maaf gue telat!” serunya dan menonjok pundak kiri Luqman, tanda salam yang biasa dilakukan teman ku yang cowok saat SMP. Dan Luqman membalasnya lalu mereka terbahak bersama. Apa sih sisi lucunya?
“Maaf juga ya putri, harus lama menunggu pangeran datang” katanya padaku.
“I..iya nggak apa kok”
Mereka pun berjalan di depanku. Aku hanya bisa terdiam. Aneh melihat mereka berdua sangat akrab. Beberapa kali mereka tertawa bersama dan bercanda. Semuanya terlalu aneh, terutama Aji, aku tidak pernah melihatnya tertawa begitu lepas dan bercanda. Sebenarnya tempat apa ini?

Trit......trit........trit.......
Suara alaram di handphoneku membangunkanku dari tidurku. Aku bangun dan terduduk. Mengumpulkan kembali nyawaku yang masih melayang-layang, sambil sesekali menguap dan meregangkan tubuh.
Mimpi itu lagi. Namun sekarang ada Luqman. Apa sih maksud dari semua itu? Kira-kira kalau gue cari di google ada nggak ya yang namanya kebun kupu-kupu? Nanti deh ku coba di sekolah! Hehehe.. kan gratisan.
---
“Hhhh…. Kok nggak ada ya?” tanyaku bicara sendiri. Saat ini aku sedang mencari informasi tentang kebun kupu-kupu di sekretariatan OSIS dengan menggunakan laptop Ita.
“Nyari apa, Mey? Kebun kupu-kupu?” tanya seseorang dari balik punggungku. Dengan sigap aku berbalik.
”Eh, Aji. Jangan mencuri pandang gitu dong!” seruku, malu, dan dengan terburu-buru menutup laptop Ita.
”Maaf, tapi kamu tahu dari mana kebun kupu-kupu?” tanya Aji. Wajahnya tegang dan gelisah.
Sebelum menjawab pertanyaannya, aku memandang ke sekeliling kami, Ama dan Ani sedang mengerjakan elpeje OSIS di depan pintu kesekretariatan dan hanya ada aku serta Aji di dalam ruangan.
”Ehm...” jawabku berpikir. Kalau gue jujur apa nggak diketawain Aji ya? Jadi malu nih!
”Ya?”
”Dari mimpi”
”......” Aji hanya terbengong memandangku, tidak percaya.
“Iya. Ah, udahlah! Aku juga bakalan mengira kamu nggak mungkin percaya!”
”Bisa bicara sebentar? Di luar?”
“Oke” kataku dan mengikutinya.

Aji berjalan di depanku. Mencari kelas yang kosong dan jauh dari keramaian. Saat melewati depan kantin, kami melihat Luqman dan teman-teman kelas satunya sedang tertawa terbahak-bahak, jadi ingat tawanya Luqman di mimpi, beda banget.
”Luqman!” panggil Aji. Dan tawa mereka semua berhenti. Luqman dengan kalem menghampiri Aji, dia mengerutkan keningnya saat melihatku di belakangnya.
”Kenapa? Tumben lo manggil gue!” bisiknya.
“Ikut gue yuk! Ada yang mau gue omongin bertiga!”
Luqman hanya mengangguk dan kami berjalan beriringan di belakang Aji. Luqman memandangku penuh tanya, namun aku hanya dapat mengangkat bahu, tidak mengerti. Setelah berjalan hampir mengelilingi seluruh sekolah, akhirnya Aji memilih ruang kelas biologi yang terpencil dan terdengar angker untuk bicara. Dia masuk duluan disusul denganku dan Luqman terakhir sekaligus menutup pintunya.
Aji duduk di meja guru, aku mengambil kursi dan duduk berhadapan dengannya yang membelakangi papan tulis yang bersih, sedangkan Luqman hanya berdiri dengan kedua tangan di saku.
“Ada apa sih?” tanya Luqman yang memecah keheningan.
“Tadi Mea mencari informasi di google” jawab Aji singkat.
“Terus?” tanya Luqman memberikan ekspresi ‘emang-penting-ya?’
”Biar Mea yang cerita” perintah Aji. Hih! Nih anak! Cerita ama lo aja udah bikin gue malu! Apalagi cerita sama Luqman! Bisa diketawain banget!
”Ayo, Mey cerita, biar Luqman tahu” perintah Aji untuk kedua kalinya saat aku hanya terdiam.
”Aku mencari informasi di google tentang kebun kupu-kupu” jawabku sembari memandang lantai, malu melihat ekspresi Luqman, pasti aku malu-maluin banget.
”Kamu tahu nama itu dari mana?” tanya Luqman kaget.
”Mimpi” kata Aji yang menjawab kali ini.
”Mimpi? Lo pernah kasih tahu, Ji?”
”Nggak, gue nggak pernah cerita ke siapa pun”
Apaan sih mereka ini? Kesannya gue udah tahu sesuatu yang sangat rahasia itu. Awas aja kalau aku disuruh menceritakan keseluruhan mimpi itu. It’s a big no!
”Kebun kupu-kupu yang lain kali, Ji!” seru Luqman mengusulkan.
”Mey, coba deskripsikan seperti apa kebun itu dalam mimpimu?” pinta Aji.
”Terhampar padang rumput dengan bunga-bunga indah dengan warna-warni yang menarik hati, terdapat sebuah tebing besar menganga dengan ketinggian yang tidak kuketahui kedalamannya, aku tidak dapat melihat ujungnya” jawabku.
”Apa yang kamu lakukan disana?” selidik Luqman.
Ini nih yang gue benci. Nanya ngapain disana! Masa gue bilang gue ketemu mereka! Bisa kegeeran mereka!
”Awalnya aku hanya berjalan-jalan, karena sendirian di kebun itu, lalu tiba-tiba kamu muncul, Man”
”Aku?”
”Iya, kamu bilang kita, aku, kamu, dan Aji, mau menghabiskan siang itu di tempat itu dengan melihat awan, iya, ada Aji disana, datang tak lama setelah kamu muncul, yang aneh, kalian berdua terlihat sangat akrab, seperti sahabat karib!” jelasku.
Wajah mereka berdua jadi tegang, gelisah. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing, sedangkan aku hanya dapat menunggu salah satu dari mereka bersuara.
”Kamu udah mulai mimpi itu baru atau sudah pernah sebelumnya?” tanya Aji.
”Sebelum hari pertama sekolah pada saat MOS, dan semalam yang terakhir, namun pada mimpi sebelum hari pertama sekolah hanya ada kamu dan aku” jawabku pada Aji.
Wajah mereka tambah menegang dan gelisah. Keheningan yang muncul membuatku merasa bersalah, rasanya bagaikan berada dihadapan pengadilan dan menunggu vonis hukuman eksekusi matiku. Ketegangan yang keluar dari wajah mereka membuatku ikut tegang pula.
”Apa ada yang dapat menjelaskannya padaku?” tanyaku akhirnya memecah keheningan. Mereka berdua langsung memandangku, lalu saling pandang.
”Mmm, begini ya, Mey, kami nggak tahu gimana bisa begitu, tapi, kebun kupu-kupu itu tempat kami, aku, Aji, dan.... Risa bermain, kami memang biasa melihat awan bersama-sama, terkadang bermain layang-layang”
”Ke... kenapa bisa aku memimpikannya?” tanyaku gugup.
”Entahlah. Hanya aku, Luqman dan Risa yang tahu tempat itu, tempat itu sama persis seperti yang kamu dekripsikan, dan kebiasaan kami juga sama seperti yang kamu sebutkan tadi. Kami belum pernah membicarakan hal ini sebelumnya pada siapa pun”
”Aku... aku... juga nggak tahu kenapa bisa begini, eh, halo?” jawabku pada hapeku yang tahu-tahu berdering disaat yang tidak tepat.
”Oke, oke, gue kesana!” kataku menutup telepon.
”Siapa, Mey?” tanya Luqman.
”Ama, marah-marah karena gue hilang, dia perlu bantuan, bisa kita tutup diskusi kita yang tanpa akhir ini?” tanyaku. Aji mengangguk, Luqman hanya menunjukkan ekspresi ’ya-mau-gimana-lagi?’ dan aku langsung keluar dari ruangan itu terburu-buru menuju sekretariatan OSIS.
---
”Pokoknya, Mey, nih elpeje sisanya harus lo selesein, nggak banyak kok! Udah gitu, jangan lupa di fotokopi 3 kali! Dan semuanya harus udah selesai besok pagi! Inget! Besok pagi! Gue nggak mau tahu lo sibuk atau apa kek! Lo belum kerja hari ini! Seharian ini gue ama Ani aja yang ngetik! Jadi lo harus selesein peer lo ini! Ngerti?” kata Ama marah-marah saat waktunya pulang.
”Ama! Lo keras banget sih sama Mea!” seru Aji mengingatkan.
”Iya, Ma! Jangan seenak lo aja dong! Mea kan juga perlu istirahat!” bela Ita sedangkan Lita hanya bisa mengiyakan dan manggut-manggut.
”Heh! Memangnya gue juga nggak capek apa?! Hampir setengahnya itu gue yang ngetik tahu! Ani juga udah ngetik and ngeprint setebel itu! Cuma Mea aja yang belum kerja! Tugas yang gue kasih ini cuma seperdelapan dari seluruhnya! Jangan mentang-mentang lo naksir Mea terus gue bisa ikutan lembek sama dia, Ji! Dan jangan mentang-mentang dia tuh sohib lo terus lo memanjakannya, Ta! Gue tahu pangkat kalian lebih tinggi dari gue! Tapi kalau nggak gini Mea nggak bisa diajari tanggung jawab! Dan itu nggak adil! Dia itu sekretaris dua! Tugasnya membantu gue dan Ani! Bukannya malah ngeberatin kita!” seru Ama nggak kalah nyolot. Memang Ama orangnya sangat blak-blakan, kalau dia nggak suka langsung bilang nggak suka. Dan sepertinya setiap perkataannya sangat menohok hingga Ita dan Aji tidak dapat membalas argumentasinya.
“Udah... udah... iya, Ma, gue minta maaf, gue kerjain deh!” kataku sembari mengambil file-file yang dipegang Ani, Ani hanya tersenyum bak malaikat, Ani memang terlalu baik, nggak seperti Ama.
“Semuanya, gue pulang dulu yaa?!” seruku dan bergegas keluar dari sekretariatan OSIS secepat yang kubisa.

Saat aku berjalan dengan santai menuju gerbang sekolah, tiba-tiba hapeku berdering.
“Halo? Assalamualaikum” sapaku.
“Mey, pulang bareng yuk!” ajak seseorang diseberang. Kulihat nama yang terpampang di layer hapeku. Luqman.
“Oh, oke, lo dimana?”
“Lihat deh keparkiran!” serunya. Aku pun menengok ke arah parkiran dan melihat Luqman duduk dengan santai di motornya sambil melambai-lambaikan tangannya.
“Ya udah lo kesini aja!” pintaku.
”Tunggu ya!” katanya dan telepon kami terputus, dia memakai helem dan menyalakan motornya lalu mengarahkannya menujuku.
”ayo naik!” pintanya. Dan aku pun dengan susah payah hingga hampir membuat Luqman tidak dapat menahan beratku yang membuat motor agak oleng.
”Hehehe... maaf”
”Berat lo berapa sih?!”
“Tidak sopan menanyakan berat badan pada seorang lady!” seruku sambil menggeplak kepalanya. Dan dia hanya tertawa dan bersiap jalan ketika sebuah mobil ford escape menghalangi jalannya dan kaca mobilnya terbuka, menampakan wajah Aji yang sangat tenang itu.
“Mey, aku hanya ingin mengingatkan kamu, jangan lupa menyelesaikan tugas yang diberikan Ama, lusa kita harus mempertanggungjawabkan elpeje kita!”
”Baik!” seruku. Kaca mobil ford escape itu menutup lagi, menyembunyikan wajah orang yang ada di dalamnya.
”Sok banget sih dia! Kan lo capek ada tugas sekolah terus ditambahin lagi sama tugas OSIS!” seru Luqman.
”Udah-udah, memang itu udah tugas dan tanggung jawab gue, saat gue memutuskan untuk gabung di OSIS gue udah tahu tugas gue bakalan tambah berat, makanya, nggak usah ngejelekin Aji”
”Iya-iya, eh, temenin gue yuk!”
“Kemana?”
“Gue pengen ngajak lo jalan-jalan!”
”Luqman! Lo nggak dengar tadi Aji ngomong apa? Gue harus selesein elpeje!”
“Cuma bentar kok!”
Sebelum Mea dapat menjawabnya, Luqman telah menancap gas, melaju kencang. Mea hanya bisa menurut mengikuti kemauan Luqman.
---
“Hah? Ke Monas? Nggak salah lo ngajakin gue kesini? Kenapa sih nggak bisa ngajak ke tempat yang lebih menghibur dikit kek! Di Monas ada apaan, mas yang menghibur?” semburku saat kami sampai di Monas.
”Ayo kesini!” ajak Luqman kesalah satu sudut taman yang penuh dengan rumput. Dan dengan nyamannya dia terlentang di bawah langit biru. Aku hanya berdiri memandangnya.
”Lho kok di situ aja! Ayo sini! Tiduran deh!” ajaknya bangun dari posisinya memandangku.
”Kan kotor, Man, nanti badan gue gatel-gatel! Ogah gue!”
“Huh! Nggak kok! Kalau berdiri aja lo nggak bisa melihat bentuk-bentuk awan dengan jelas!”
“Oke!” kataku dan langsung mengambil tempat disampingnya untuk melihat awan seperti yang dibilangnya. Hening diantara kami berlangsung. Hanya terdengar suara kendaraan-kendaraan bermotor, kerumunan celotehan orang-orang, suara-suara pedagang, suara angin, suara hembusan napas kami yang teratur dan suara detak jantungku yang berdetak dengan cepat.
“Pasti lo udah tahu, Risa suka banget melihat awan!” katanya memecah keheningan diantara kami.
”He eh”
”entah kenapa kebiasaan itu sekarang ke bawa sama gue. Susah lho nyari tempat yang tepat buat ngelihat awan! Yah... seperti yang lo lihat, kotor! Kalau di kebun kupu-kupu rumputnya nggak kotor, disana juga ada sebatang pohon besar yang rindang, kalau kami nggak melihat awan, biasanya kami tidur-tiduran di bawah naungan rindangnya pohon” katanya mengingat-ingat. Kenapa sih dia cerita-cerita tentang ini? Gue kan bukan Risa! Harusnya lo nggak mengingat-ingat cewek lain saat ada seorang cewek disamping lo yang berdebar-debar karena lo, Man!
Hening kembali menyelimuti kita.
”Menurut lo awan yang itu bentuknya apa?” tanyanya tiba-tiba.
”Mmmm..... awan?” usulku.
”Hahaha... lo harus lebih berkhayal! Kalau gue, gue melihat awan itu kayak permen kapas!”
”Hahahaha....... lo juga nggak kreatif! Umm... gue coba ya? Menurut gue itu mirip kayak bakpao! Yang itu mirip roti perancis! Eh, yang itu kayak semangkuk bakso! Eh, eh, yang itu mirip apel deh! Terus yang itu mirip sama mangga!” seruku menunjuk satu per satu awan yang kulihat.
“Hahahahahaha......... lo laper kali! Jadinya semua awan yang lo lihat kayak makanan semua! Lo mirip banget sama Risa!” serunya dan langsung terdiam saat aku bangun dari posisiku.
”Kenapa sih gue harus selalu dimirip-miripin sama Risa?! Gue bosen tahu!”
”Sori-sori, gue nggak bermaksud gitu...”
”Udahlah! Bener apa kata lo tadi! Gue laper! Ayo!”
“Hehehe... jadi gue udah dimaafin nih?”
“Gue nggak mau ngebahas! Lupain aja!”
”Oke-oke putri!”
---
Aku tiba di rumah pukul 9 malam, sudah pasti papa ceramah lagi, kali ini sampai jam 11 malam, saat sampai di kamar, aku langsung salat dan membersihkan wajahku lalu naik ke atas tempat tidur, terlalu lelah untuk melakukan hal lainnya. Tadi seharian Luqman mengajakku berkeliling Jakarta, berwisata kuliner, ada tiga hal yang pasti, pertama Luqman yang bayarin semua makanan itu, kedua berat badanku pasti naik pesat, dan ketiga, aku jatuh cinta–teramat cinta melebihi perasaanku pada Aji–pada Luqman. Dia dapat membuat ku melupakan kesedihanku ditolak Aji.
---
Oh my gosh! Pagi ini aku telat lagi! Terbangun pada pukul setengah enam pagi dan terburu-buru pergi berangkat sekolah membuat aku melupakan semuanya. Termasuk tugasku untuk menyelesaikan elpeje.
“Pokoknya gue nggak mau tahu lagi, Mey! Lo tuh nggak bertanggung jawab banget! Gue mau hari ini juga elpeje udah selesai gimana pun caranya!” teriak Ama saat aku baru tiba di kelas dengan terengah-engah sehabis berlari mengejar gerbang sekolah yang hampir ditutup.
“Hiks… maaf, Ma…” kataku tulus, aku mulai menangis. Memang kalau masalah tanggung jawab aku sangat menjaga hal itu, belum pernah sebelum ini aku melupakan tanggung jawab ku.
”Maaf? Nangis lagi! Lo nangis juga nggak bakalan langsung jadi tuh elpeje! Cengeng!”
”Ama! Gue tahu lo marah sama Mea, gue juga tahu kalau nggak seharusnya gue menyalahgunakan jabatan gue, tapi sebagai wakil ketua OSIS dan teman lo dan Mea, gue melarang lo menghina siapa pun orang itu, terutama Mea untuk saat ini. Lo marahin Mea juga nggak akan menyelesaikan masalah!” seru Ita yang berada disamping kananku dan Lita dengan semangat ’45 mengiyakan.
”Gue hanya kesal sama dia! Dia perlu hukuman!”
“Ama!” seru seseorang bersuara berat. Aku mencari sumber suara tersebut, Aji.
“Kenapa?! Lo mau belain dia juga?! Belain aja terus! Gue mulu yang disalahin!”
”Gue nggak bilang lo salah! Tapi bener apa kata Ita, lo marah-marah juga nggak menyelesaikan masalah!”
“Maaf” kata Ama lirih.
“Nggak apa-apa kok. Memang itu salah gue” kataku. Hening. Setiap orang sibuk denga pikirannya masing-masing mencari jalan keluar dari masalah ini.
”Gini aja deh! Gue janjiin Mea akan ngasih elpejenya hari ini, tapi nggak pagi ini, nanti pulang sekolah. Gimana?” usul Aji bijak.
”Oke! Pokoknya harus jadi lho pulang sekolah nanti!” seru Ama dan dia pergi kembali ke ruangan kelasnya.
”Makasih ya, Ji udah ngebelain gue” kataku pada Aji.
”nggak apa? Lo bawa datanya?” tanya Aji.
“Nggak, usbnya ada di tas gue yang satunya. Tadi pagi gue telat dan gue nggak sempat mindahinnya”
“Ya udah, ikut aku yuk! Kita izin ke piket buat pulang, lo kelihatannya kayak sakit, jadi kalau bohong sedikit nggak bakalan ketahuan” katanya sambil tersenyum jahil.
---
”Nanti pas sampai di rumah kamu, kamu langsung ambil datanya ya? Nanti ngerjainnya di mobil ku aja. Pakai laptop ku. Kalau sudah selesai, kita langsung ke sekolah lagi. Kamu ngeprintnya di printer yang ada di sekretariat OSIS aja. Habis itu tinggal kamu copy sebanyak yang diperlukan. Dan voila! Jadi deh!” kata Aji menjelaskan di dalam mobilnya dalam perjalanan ke rumahku.
Aku duduk di kursi penumpang di sebelah Aji seperti biasanya. Aku bingung, kok guru piket bisa percaya-percaya saja ya kalau Aji berbohong? Huh! Dia memanfaatkan tampang innocent, nama baiknya yang masih bersih, dan kharismanya sebagai ketua OSIS untuk berbohong! Aku sampai-sampai tidak percaya melihatnya bersandiwara dengan sempurnanya di depan guru. Dasar!
”Mey, Mey, kok bengong? Kamu dengerin aku nggak sih?” panggil Aji sembari mengendarai mobil menyadarkanku dari lamunan.
”He? i.. iya aku dengar kok! Kamu kan sudah mengulang itu 5 kali dari tadi!” jawabku.
”Oh, udah ya? Oke” katanya. Dan dia pun kembali berkonsentrasi mengendarai mobilnya.
Perjalanan dari sekolah ke rumahku menghabiskan satu jam kalau mengendarai mobil, tetapi kalau mengendarai sepeda motor, tidak sampai dua puluh menit. Namun satu jam bersama Aji di mobilnya ini terasa amat lama. Obrolan kami hanya berada di sekitar obrolan tentang sekolah dan OSIS, selebihnya hanya keheningan yang menyelimuti kami. Dan entah dia memang lupa –aku berani bertaruh dengan nyawaku kalau sebenarnya Aji tidak lupa– atau memang tidak tahu lagi ingin mengobrol apa, dia selalu mengulang langkah-langkah rencana yang akan dilakukan itu. Hmmpphh.... rasanya lucu aja bersama Aji yang nggak biasa mengobrol kalau aku sudah terbiasa bersama Luqman yang ceplas-ceplos dan yang selalu menemukan bahan obrolan. Hhhffff..... Luqman lagi apa ya? Mungkin lagi di kelas, belajar. Kangen.....
”Mey, kamu sedang memikirkan apa?” tanya Aji beberapa menit kemudian mengejutkanku kembali.
”Hah?!”
”Luqman ya?” tanyanya langsung.
Lho? Kok dia bisa menebaknya ya? Pipiku langsung terasa panas, mungkin merona merah. Kenapa bisa sih dia menebak? Kan aku jadi nggak enak!
”Pasti benar!” katanya mengambil kesimpulan dari rona wajahku. Aku hanya bisa memalingkan wajahku, menyembunyikan rona di pipiku.
”Kamu kemarin jalan dengannya sampai jam berapa?” tanyanya lagi.
Wuih.. kok bisa menebak sih dia? Jangan-jangan Aji punya cenayang? Atau jangan-jangan Aji itu sebenarnya vampir yang mempunyai kelebihan untuk membaca pikiran seseorang seperti Edward Cullen di Twilight Saga? Huh! Harusnya dia nggak bisa membaca pikiran ku dong! Kan kalau dia Edward, aku jadi Bellanya. Hahaha... maksa!
”Kenapa senyum-senyum sendiri? Kok pertanyaanku belum dijawab sih?” tanyanya saat melihatku tersenyum-senyum sendiri dalam lamunanku.
”Eh, maaf. Kemarin memang aku jalan sama Luqman. Baru sampai di rumah jam 9 malam. Terus seperti biasa, papa ceramah sampai jam 11 malam. Jadinya aku yang sudah terlalu lelah itu nggak bisa nyelesaikan elpeje. Terus tadi aku hanya berspekulasi kenapa kamu bisa tahu semua hal itu?”
”Oh. Aku selalu tahu apa yang kamu pikirkan dari tingkahmu. Melihat bahasa tubuhmu itu sama seperti membaca buku untuk anak TK yang tulisan dengan ukuran besar. Sangat mudah untuk dibaca. Lagipula aku sudah lama kenal Luqman, jadi aku tahu apa saja yang akan ada di pikirannya” katanya menjelaskan. Lalu kami kembali terdiam. Hening. Namun kali ini suasana yang terbangun diantara kami mulai terasa tidak enak.
Akhirnya sampai juga di depan rumahku. Aku mulai bingung mau mengobrol apa dengan Aji untuk mencairkan suasana. Setidaknya kalau aku berduaan lagi dengan Aji di mobilnya untuk mengerjakan elpeje, aku tidak perlu bersusah payah untuk memulai suatu percakapan, aku bisa menggunakan alasan serius mengetik untuk tidak berbicara.
Saat mobil tepat berhenti di depan rumahku, aku langsung membuka pintu mobil Aji dan membantingnya, serta terburu-buru masuk ke rumah, ke kamarku, mengambil data-datanya dan pergi lagi tanpa menjawab rentetan pertanyaan yang mama sampaikan, dan sampai kembali di tempat semula, bangku penumpang di sebelah Aji yang menyetir dalam waktu 3 menit.
Tanpa mematikan mobil, Aji yang menungguku langsung menancapkan gas pergi meninggalkan rumahku yang lama-kelamaan menghilang dibalik belokan yang kami ambil.
”Itu, laptop ku ada di bangku belakang” katanya. Aku mengangguk dan mencari laptop Aji yang ada di bangku belakang dan menemukan tas laptop berwarna hitam tergeletak di tengah bangku.
---
Hhhfff… Luqman, lo nggak berubah ya dari dulu? Selalu aja melakukan sesuatu seenaknya tanpa memikirkan kerugiannya. Ini semua gara-gara lo, Man. Mea jadi harus menanggung kemarahan Ama. Andai aja kemarin aku mengantar Mea pulang, kan jadinya nggak akan runyam gini.
“Ji, kamu mau bawa kita kemana?” Tanya Mea yang ada di sampingku memutuskan lamunanku yang sedang menyetir.
“Eh, kamu maunya kemana, Mey?”
“Ya kan yang bawa mobilnya kamu, Ji. Aku sih ikut aja”
“Ke taman di dekat sekolahan aja ya? Jadi biar kalau udah jadi kita bias langsung ke sekolah?”
“Oke”
Hening kembali menyelimuti kami. Mea masih sibuk dengan data-data elpeje dan aku sibuk berkonsentrasi menyetir mobil. Setelah belokan di depan, tibalah kami ke taman yang ada di kompleks perumahan dekat dengan sekolah kami. Aku memberhentikan mobilku dibawah pohon yang rindang dan mematikan mesin, membuka pintu di samping agar angin yang sejuk masuk menggantikan angina panas yang ada di dalam mobilku kala ACnya dimatikan. Mea juga melakukan apa yang kulakukan, membuka pintu lalu menguncir rambutnya menjadi kuncir cepol, dan mengubah posisi duduknya menjadi bersila diatas kursi penumpang di samping kemudi seperti kebiasaannya jika duduk dikursi dan memangku laptopku sembari mengetik menambahkan sesuatu yang ada di data-data yang ada di kertas yang ada di genggamannya.
“Mey, kemarin kemana aja sama Luqman? Sampai-sampai pulang larut?” tanyaku.
“Ke monas, habis itu keliling-keliling Jakarta sambil foto-foto, sekalian wisata kuliner. Oh iya aku nggak nyangka lho ternyata Luqman tahu tempat-tempat makan yang enak dan pewe!” jelasnya sambil berbinar-binar mengalihkan pandangannya dari layar laptopku ke wajahku.
“Oh, syukur deh kalau kamu senang. Tapi besok-besok kalau kamu ada tugas, dan Luqman ngajak jalan, ku harap kamu bisa menyatakan dengan tegas penolakanmu. Aku nggak mau gara-gara Luqman kamu jadi melupakan tanggung jawabmu, Mey” jelasku.
“Aji, ini tuh bukan kesalahan Luqman! Ini murni kesalahanku. Aku yang teledor. Aku nggak suka kamu nyalah-nyalahin Luqman gitu!”
“Bagaimana aku nggak menyalahkannya? Coba aja dia tahu apa tugas yang sedang kamu pengang dan coba aja dia punya otak untuk nggak melakukan hal bodoh yang seenaknya sampai-sampai lupa waktu, pasti kamu akan ada di kelas sekarang, belajar, menyiapkan diri untuk ujian, dan nggak dimarahi Ama!”
“STOP, JI! Aku lagi nggak mau adu argument sama kamu! Aku lagi sibuk buat elpeje ini. Jadi kuharap kamu nggak menyalahkan Luqman. Luqman nggak salah! Aku yang salah! Titik!” seru Mea.
Dia melanjutkan pekerjaannya dan aku membuang muka darinya. Kami hanya diam. Takut untuk memulai pembicaraan yang mungkin nanti ujung-ujung berakhir dengan pertengkaran. Walaupun aku nggak suka Mea membela dan jalan dengan Luqman, aku masih tetap menahan diri untuk tidak memulai pertengkaran.
---
“Yes! Udah!!! Tinggal di print!” seruku saat aku berhasil menyelesaikan elpejeku.
“Oh ya sudah kalau gitu. Ini masih jam satu, kita makan dulu yuk! Kamu kan belum makan siang” ajak Aji.
“Terserah kamu deh!”
“Oke, mau makan dimana?” tanyanya sembari menyalakan mesin mobilnya dan menjalankan mobilnya.
“Terserah kamu aja. Kan kamu yang ngajakin!”
“Hahahaha…. Kamu tuh kayak sepupu aku aja yang masih kelas enam SD! Setiap ditanya atau ditawarin pasti jawabnya kalau nggak ‘terserah’ ya ‘yaudah’!”
“Ih.. kok aku di samain sama sepupu kamu itu sih! Beda tahu!”
“Ya kalau memang beda jawabannya apa dong? Aku nggak mau terima kata terserah atau yaudah!”
“Oke-oke. Aku lagi pengen makan ramen nih! Pengen nyobain ramen yang baru di Gokana, katanya sih super pedas banget!” jelasnya berbinar-binar.
“Oke-oke, Gokana ya? Berarti yang paling deket yang di MKG! Oya, sekalian aku mau beli buku soal-soal latihan buat UAN. Kamu sekalian aja belinya!”
“Iya-iya! Aku juga mau beli novel sama komik!”
“Huu… belajar, bu! Jangan ngayal mulu!”
“Yaaa…. Kan buat refreshing! Hehehe”
Untunglah suasana diantara kita mencair lagi. Aku nggak nyaman dengan suasana yang tadi. Aku tahu maksud Aji, dia marah dan cemburu. Jadi dia menyalahkan Luqman. Bukannya aku kegeeran ya? Tapi walaupun dia itu orang yang pernah aku suka dan aku tahu dia juga menyukaiku, tetap saja dia itu bukan siapa-siapaku. Dia tetap saja bukan pacarku yang mempunyai hak kalau aku jalan dengan cowok lain.
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Template by Suck My Lolly - Background Image by TotallySevere.com